BANJARMASIN — Kasus penipuan jual beli batu bara senilai Rp7 miliar yang menjerat terdakwa Richard Arif Muliadi kembali menampar wajah penegakan hukum di Kalimantan Selatan. Terdakwa yang sebelumnya berstatus tahanan rumah kini dinyatakan kabur, dan hingga Minggu (9/11/2025) belum diketahui keberadaannya.
Perkara yang tengah disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin ini sontak menuai kritik keras dari berbagai kalangan. Pasalnya, pelarian terdakwa dianggap sebagai bukti nyata lemahnya pengawasan dari aparat penegak hukum, khususnya pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan (Kejati Kalsel) yang bertanggung jawab atas pengawasan tahanan rumah.
Ketua Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) Kalimantan Selatan, H. Akhmad Husaini, S.H., M.A., menilai kaburnya terdakwa merupakan bentuk kelalaian serius dari pihak kejaksaan.
Menurut Husaini, sesuai petikan penetapan pengadilan, pengawasan terhadap tahanan rumah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Jaksa Penuntut Umum. Namun faktanya, sejak awal status tahanan rumah diberlakukan, Richard tidak pernah menempati lokasi tahanan sebagaimana mestinya.“Bagaimana mungkin saat masih berstatus tahanan rumah dan sidang masih berjalan, terdakwa bisa dengan mudah melarikan diri? Ini jelas menunjukkan betapa longgarnya pengawasan yang dilakukan pihak JPU,” tegas Husaini, aktivis antikorupsi yang kerap menyuarakan aksi di Mabes Polri, Kejagung, hingga KPK.
“Sejak ditetapkan sebagai tahanan rumah, Richard justru bebas keluar-masuk dan bahkan diketahui beberapa kali bepergian ke Jakarta. Ini bukan sekadar kelalaian, tapi pelecehan terhadap sistem hukum kita,” ujarnya geram.
Lebih parah lagi, Richard dua kali mangkir dari persidangan di PN Banjarmasin, dan setelah itu menghilang tanpa jejak.
“Ini sudah kebangetan! Dua kali tidak hadir sidang, tapi tidak ada tindakan tegas dari aparat. Sekarang malah kabur. Ini mempermalukan wibawa hukum di mata publik,” kata Husaini.
Ia menilai situasi ini bukan hanya soal hilangnya seorang terdakwa, melainkan soal tercorengnya integritas lembaga hukum.
“Hukum di Kalsel seakan bisa dikebiri oleh saudara Richard Arif Muliadi. Kalau hukum bisa dilemahkan hanya karena status sosial atau kekuatan uang, ini bahaya besar bagi keadilan,” ujarnya dengan nada tajam.
Husaini menegaskan, KAKI Kalsel mendesak PN Banjarmasin dan Kejati Kalsel segera menetapkan Richard sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) bila dalam sidang berikutnya ia tetap tidak hadir.
“Jangan biarkan publik berpikir hukum bisa dibeli! Bila sidang berikutnya terdakwa masih tidak muncul, segera tetapkan DPO dan tangkap tanpa kompromi,” tegasnya.
Sebagai bentuk protes dan tekanan moral terhadap aparat hukum, Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) Kalimantan Selatan akan menggelar aksi besar di depan Kantor Kejati Kalsel pada Kamis mendatang. Aksi ini akan menuntut tanggung jawab penuh dari pihak kejaksaan dan meminta penjelasan terbuka kepada publik terkait kaburnya terdakwa.
“Kami akan turun ke jalan. Publik berhak tahu siapa yang lalai, siapa yang bermain, dan kenapa hukum bisa sebegitu lemah menghadapi seorang terdakwa penipuan miliaran rupiah. Ini bukan hanya soal Richard — ini soal harga diri hukum di negeri ini!” tutup Husaini dengan nada tajam.
Kini, sorotan publik tertuju pada Kejati Kalsel dan aparat kepolisian. Mampukah mereka memburu dan menangkap kembali terdakwa yang telah mencoreng kepercayaan publik terhadap keadilan?
🔥 Kasus ini jadi ujian nyata: Apakah hukum di Kalimantan Selatan masih punya nyali melawan para penjahat berdasi? ( Redaksi K-24 )